MEDIA MATA BIND JAKARTA - Dalam beberapa pekan terakhir, jalanan di sejumlah kota besar seperti Semarang, Surabaya, dan Bandung dipenuhi gelombang protes dari para sopir truk. Spanduk bertuliskan *“Sopir Bukan Kriminal”* menjadi simbol perlawanan terhadap stigma dan kebijakan pemerintah terkait truk Over Dimension Over Loading (ODOL). Ini bukan sekadar demo lalu lintas, ini adalah jeritan dari lapisan paling bawah dalam rantai logistik nasional yang merasa dizalimi.
Pemerintah, melalui program *Zero ODOL yang akan diberlakukan penuh pada 2026*, menyatakan bahwa truk ODOL menyebabkan kerugian negara hingga puluhan triliun rupiah setiap tahunnya dan menjadi penyumbang signifikan kecelakaan lalu lintas. Angka ini tidak main-main. Namun yang menjadi soal, adalah *siapa yang ditunjuk sebagai penanggung jawab utama dari semua itu*: sopir truk.
Framing ini sungguh bermasalah. Alih-alih melihat ODOL sebagai akibat dari ketimpangan struktural dan regulasi logistik yang lemah, pendekatan pemerintah justru menyederhanakan persoalan menjadi urusan pelanggaran individu. Padahal, para sopir truk nyaris tidak memiliki kuasa atas muatan yang mereka bawa, atau dimensi kendaraan yang mereka kemudikan.
Sopir truk hanyalah pelaksana. Mereka bekerja di bawah tekanan tarif rendah, jadwal ketat, dan permintaan pemilik barang atau perusahaan logistik yang ingin menekan ongkos semurah mungkin. Dalam kondisi itu, banyak truk dimodifikasi tanpa sepengetahuan atau kendali sopir. Tapi saat razia berlangsung, mereka yang paling pertama diseret ke ranah hukum.
Regulasi saat ini bahkan memperparah situasi. Tidak ada standar tarif logistik nasional. Sementara Pasal 184 UU LLAJ menetapkan bahwa tarif ditentukan berdasarkan kesepakatan antara perusahaan dan pengguna jasa. Hasilnya? Perang tarif. Upah sopir anjlok. Dalam banyak kasus, gaji sopir hanya Rp1,5–2,5 juta per bulan—jauh dari layak, terlebih dengan risiko kerja yang begitu besar.
Ironisnya, saat sopir membawa muatan lebih sebagai jalan pintas untuk menutupi kekurangan pendapatan, negara justru datang sebagai algojo, bukan sebagai pelindung. Di titik inilah rasa keadilan publik terusik. Apakah negara sungguh hadir menyelesaikan masalah, atau sekadar membereskan permukaannya saja?
*Pemerintah tidak bisa terus menyalahkan sopir.*
Jika pemerintah serius dengan Zero ODOL, maka reformasi total sistem logistik adalah keharusan. Mulai dari *pengaturan tarif logistik yang adil*, *penindakan tegas terhadap pemilik barang dan perusahaan logistik besar*, hingga *jaminan transisi dan perlindungan kerja yang memadai bagi para sopir*.
Apa yang terjadi hari ini adalah buah dari pembiaran sistemik selama bertahun-tahun. Ketika ketimpangan dibiarkan, pungli dan premanisme di jalan tidak ditindak, dan perlindungan sosial bagi sopir absen, maka ODOL adalah konsekuensi yang tak terelakkan. Bukan karena mereka ingin melanggar, tapi karena mereka tidak diberi pilihan lain.
Maka, protes yang terjadi bukanlah bentuk pembangkangan terhadap hukum. Itu adalah bentuk perlawanan terhadap kebijakan yang cacat dari hulunya. Sebuah panggilan agar negara tidak hanya menegakkan aturan, tetapi *membangun keadilan dalam sistem distribusi barang nasional*.
Apresiasi patut diberikan atas inisiatif Perpres dan SKB lintas kementerian. Namun jika dalam praktiknya narasi publik terus disesatkan bahwa sopir adalah pelaku tunggal dan kriminal maka bukan solusi yang kita bangun, tapi bara konflik sosial yang terus menyala.
Sudah saatnya kita berhenti melihat sopir sebagai beban. Mereka adalah *tulang punggung logistik nasional*, yang selama ini menopang distribusi barang dari Sabang sampai Merauke. Menyelesaikan masalah ODOL tanpa berpihak pada mereka, hanyalah menambah panjang daftar kebijakan yang gagal melihat realitas.
Riyan
Posting Komentar
MEDIA MATA BIND