Dua Klaim Satu Lahan: Penyelesaian Hukum Jadi Penentu Kepastian Pemilik Tanah di Cileungsi


MEDIA MATA BIND CILEUNGSI - Sebuah konflik kepemilikan tanah warisan di Desa Mampir, Kecamatan Cileungsi, menyita perhatian publik. Sengketa ini melibatkan klaim dari keluarga H. Ucha yang menyatakan telah membeli tanah tersebut pada 1995, berhadapan dengan ahli waris sah, Linan, yang membantah adanya transaksi jual-beli oleh almarhum ayahnya, Ayan bin Guto. Sabtu, (8/11/2025).


‎Di satu sisi, keluarga H. Ucha, yang diwakili menantunya, Zaza, mengklaim kepemilikan berdasarkan sebuah dokumen ‘Segel’ bertahun 1995. Dokumen itu dikatakan ditandatangani oleh keluarga Ayan bin Guto dan disaksikan oleh perangkat desa setempat saat itu.


‎“Kami yakin surat ini kuat karena dari tahun 1995. Pak Haji banyak memiliki surat segel dari tahun itu. Dulu jual tanah per Geblog (petak), bukan per meter, dan tidak selalu pakai kwitansi,kan ini dulu tanahnya bah Guto pada saat itu yang tandatangan kakanya ayan,"tegas Zaza kepada media, seraya menunjukkan lembaran kertas ketikan tanpa laminating masih terlihat rapih.


‎Di sisi lain, Linan, selaku ahli waris, membantah keras klaim tersebut. Ia menegaskan bahwa almarhum ayahnya tidak pernah menjual tanah seluas 1.248 meter persegi itu. “Orang tua saya pernah berpesan, tanah warisan untuk saya dan saudara tidak pernah dijual kepada siapapun. Bahkan, bapak bilang, suatu saat pasti ada yang mau urus,” tutur Linan.


‎Linan juga menyoroti kejanggalan pada ‘Segel’ tersebut. Menurutnya, tanda tangan dari beberapa pihak dari Desa, seperti Kepala Dusun (Kadus) atau RW pada masa itu, diragukan keasliannya. “Saat saya tanyakan langsung, beliau tidak pernah menandatangani surat segel buatan itu (Diduga Segel Bodong). Lagi pula, kalau benar dijual, seharusnya ada kwitansi pembayaran,” ujarnya.



‎"Asli nya tanda tangan abah ayan orang lain tidak ada yang tau, yang tau cuma anak-anaknya abah ayan, penulisan tandatangan nya juga gak dari atas, dari bawah, (red) bagus.",ucap Linan 


‎Lanjut kata Linan, " Jangankan abah RT sodara-sodara, juga aparat desa yang lainnya terkait surat itu gak pernah ada yang jadi saksi apa lagi tanda tangan."Jelas kata Linan.


‎Bahkan Linan selaku ahli waris sah dari orang tuanya menegaskan,"Saya ada bukti pengakuan dari para saksi yang pernah tandatangan di atas segel itu dan siap di jadikan saksi",tambahnya Linan.


‎Ketegangan memuncak ketika Linan mulai memasang plang (patok batas) di lahan tanah milik orang tuanya yakni ayan bin guto. Tindakan ini memicu kemarahan keluarga H. Ucha, yang kemudian melaporkan kasus ini ke Kepolisian Resor (Polres) Bogor dengan tuduhan pengambilalihan tanah secara melawan hukum.


‎“Kami sudah lapor ke polres karena ini sama saja penyerobotan tanah. Kami punya bukti segel dan riwayat tanah dari desa. Laporan sudah masuk, kini tinggal menunggu pemanggilan BAP (Berita Acara Pemeriksaan) untuk Pak Haji,” jelas Zaza.


‎Dijelaskan kembali karena merasa memiliki surat segel yang sah dan bukti riwayat lain dari desa mampir, Ia juga mempertanyakan bahwa Linan apakah memiliki bukti kepemilikan surat, "kita punya riwayat tanah dari kepala desa dan sekdes,Pihak Linan dasarnya apa, mereka punya bukti apa?",tegas zaza.


‎Ia juga menjelaskan, laporannya tersebut pada Minggu pertama bulan Oktober, "Laporan sudah 3 Minggu kebelakang",ucapnya. Namun, saat dimintai bukti laporan, Zaza menjawab belum menerima surat laporan dari SPKT polres Bogor akan tetapi pada saat ke polres Bogor hanya tinggal menunggu panggilan BAP H Uca saja, 


‎Linan disebutkan telah menggunakan pendamping hukum, yang diimbangi oleh keluarga H. Ucha yang juga memanfaatkan jasa pengacara rekanannya.


‎Selanjutnya, Zaza mengklaim bahwa bukti administrasi lain seperti SPPT (Surat Pemberitahuan Pajak Terutang PBB) atas nama H. Ucha. “Bahkan kita ada SPPT atas nama Pak Haji Ucha, dari dulu sudah atas namanya, tiap tahun ada pembayaran,” klaimnya.


‎Namun, ketika diminta untuk menunjukkan bukti pembayaran tersebut, Zaza mengalihkan pembicaraan ke hal lain.


‎Hal yang mengejutkan lagi pada tahun 2020 SPPT masih atas nama Ayan bin Guto, "di tahun 2020 masih atas nama bapak saya, SPPT nama abah ayan bin guto terakhir 2020 masih trun nama ayan bin guto tapi skarang udah gak turun lagi. Berarti sudah 5 taun ini,"ungkap Linan.


‎Bahkan ketua RT setempat sempat menyampaikan pernh ada pemutihan ia mengakui telah menandatangani pembuatan SPPT tanpa diketahui ahli waris sah yakni keluarga Linan, dikarenakan pemohon menyebut sudah memiliki segel kemudian RT setempat Menandatangani untuk pembuatan SPPT beralih atas nama H uca, 


‎"Kalau pemutihan kan buat SPPT mah bisa." ucap RT setempat. Namun, saat di pertanyakan ke RT apakah pemilik tanah sebenarnya mengetahui dalam pembuatan SPPT tersebut, Ia pun menyampaikan "tidak mengetahui" yang minta buat SPPT  karena ngakunya memiliki segel,"ujar Ketua RT setempat.


‎Di sisi lain, informasi yang dihimpun keluarga Linan pada tahun 2020, kepala desa mampir disebutkan bahwa ‘Leter C’ atau Buku C desa salah satu bukti catatan tanah masih tercatat atas nama Ayan bin Guto. Akan tetapi ada Perubahan Leter C diduga tanpa melibatkan pihak ahli waris sah dari alm ayan bin Guto setelah tahun 2020-2025 ini.


‎Dengan kedua pihak bersikukuh pada kebenaran masing-masing dan saling melaporkan klaim kepemilikan, penyelesaian melalui jalur hukum tampaknya menjadi opsi utama.


‎Konflik kompleks ini menyoroti pentingnya kepastian hukum dalam kepemilikan tanah, keabsahan bukti transaksi, serta ketertiban administrasi pertanahan. Masyarakat menunggu tindak lanjut penyelidikan kepolisian dan proses hukum yang transparan dan adil untuk menyelesaikan sengketa yang telah berlarut-larut ini.


‎(RED)

Post a Comment

MEDIA MATA BIND

أحدث أقدم